Oleh: Hendijo
Tepat delapanpuluh tahun yang lalu, De Zeven Provincien dibajak oleh ratusan awaknya yang terdiri dari kelasi pribumi,kelasi Indo dan kelasi Belanda. Bagaimana revolusi bisa terjadi di salah satu kapal perang terbesar milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda itu? Inilah kisahnya.
Agih Subakti (67) bercerita dalam nada bangga. Sambil menyebut sebuah nama, ia mengisahkan tentang sebuah perlawanan lama. Ya, lebih kurang 80 tahun lalu, sang ayah yang bernama R. Saleh Basari Wangsadiredja adalah salah satu dari ratusan marinir yang terkait dalam pemberontakan di atas Kapal De Zeven Provincien (Kapal Tujuh). Itu adalah nama sebuah kapal perang legendaris milik Koninklijke Marine (KM) atau Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Namun kebanggaan itu seolah bertepuk sebelah tangan. Lelaki dengan 9 cucu tahu betul generasi sekarang sangat asing dengan peristiwa tersebut. Padahal menurutnya, dari aspek sejarah, perlawanan itu sangat penting karena terkait dengan perjuangan bangsa ini dalam merebut kemerdekaan.
”Peristiwa Pemberontakan De Zeven Provincien itu sangat tajam bau nasionalismenya,”ujar mantan adminisratur di beberapa perkebunan milik negara itu.
Pernyataan Agih memang benar adanya. Suyatno Kartodiredjo dalam Pemberontakan Anak Buah Kapal Zeven Provincien Tahun 1933, menyebut Peristiwa Kapal Tujuh merupakan salah satu episode dari sejarah panjang pergerakan nasional di Indonesia.” Getarannya bahkan terasa sampai ke tingkat tertinggi pimpinan politik negeri Belanda saat itu,”tulisnya.
Bahkan sejarah mencatat, bukan hanya di Hindia dan negeri Belanda saja, dunia pun dibuat geger oleh kejadian tersebut. Pers Barat dan Amerika menyebut pemberontakan Kapal Tujuh sebagai Potemkin jilid 2, sebuah nama yang mengacu kepada sebuah kapal perang milik Angkatan Laut Tsar Rusia yang para awaknya pernah menjalankan pemberontakan pada 1905. Motivasi perlawanan mereka pun sama dengan yang dimiliki oleh para awak Kapal Tujuh: kesewenang-wenangan pihak penguasa terhadap mereka dan rakyat pada umumnya.
*
TAHUN 1930-an bencana ekonomi melanda dunia. Situasi krisis tersebut sampai pula ke tanah Hindia Belanda. Harga berbagai komoditas ekspor andalan dari Hindia Belanda seperti teh, kopi, gula, tembakau dan karet harganya merosot tajam di pasaran internasional. Akibatnya banyak perusahaan perkebunan terancam bangkrut.
Pemecatan pun menjadi cerita sehari-hari para buruh di Hindia Belanda. Dalam catatan Suyatno Kartodiredjo, pada awal 1930-an, ada sekitar 100.000 buruh pribumi diberhentikan menyusul berhentinya produksi ratusan pabrik dan perusahaan perkebunan. “Rata-rata mereka memutuskan pulang dan kembali menjadi beban sosial dan ekonomi desa,”ungkap Suyatno.
Angkatan Perang Kerajaan Belanda tak lepas dari situasi depresi besar tersebut. Pada akhir Desember 1932, pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936) memtuskan untuk melakukan pemangkasan gaji semua anggota militer sebesar 7%. Bisa jadi itu dilakukan sebagai upaya Pemerintah Hindia Belanda menghindari opsi pemecataan massal seperti yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta.
Bagi para marinir KM, keputusan De Jonge itu seolah menggarami luka yang sudah menganga. Bukan rahasia lagi jika sistem penggajian di tubuh KM saat itu berjalan tidak adil. Bayangkan saja, untuk para awak kapal pribumi, gaji mereka hanya 60% dari gaji awak kapal berkebangsaan Belanda. Nasib lebih baik dialami awak kapal Indo Belanda/Eropa. Mereka digaji sebesar 75% dari gaji awak kapal berkebangsaan Belanda. Padahal untuk masalah tugas dan tanggungjawab, mereka memiliki kewajiban sama dengan awak kapal Belanda totok.
Tidak cukup soal penggajian, dalam keseharian pun diskriminasi kerap dipraktekkan secara menyolok mata oleh para perwira Belanda. Sebagai contoh jika awak kapal pribumi cukup mendapatkan ransum ikan asin maka para awak kapal bangsa Belanda selalu mendapatkan ransum daging. Jika lemari pakaian pakaian awak kapal pribumi mendapat tempat di bawah, berdekatan dengan ruangan kamar mesin yang selalu mengeluarkan hawa panas, sebaliknya orang-orang Belanda mendapatkan tempat di sebelah atas yang jauh dari hawa panas ruang mesin.
Perlakuan tidak adil tersebut makin kentara dengan adanya sikap sombong sebagian awak kapal Belanda (terutama para perwiranya) terhadap awak kapal pribumi dan Indo. Tak jarang makian god verdomme alias goblok atau vuile inlander (pribumi tolol) keluar dari mulut orang-orang Belanda dan diterima sebagai sebuah “hal yang biasa” dalam keseharian tugas.
Sesungguhnya sikap diskrimanatif itu bukan hanya menjadi miliki KM semata. Di tubuh KNIL (Koninjlike Nederland Indisce Leger, Tentara Kerajaan Hindia Belanda) situasi yang sama terjadi. Bedanya orang-orang bumiputera di KNIL lebih memilih diam dan menerima nasibnya secara pasrah.
Pada mulanya, para marinir KM bumiputera bersikap sama. Namun lama kelamaan mereka merasa muak juga dan mulai bereaksi keras. Dari hari ke hari, reaksi keras itu semakin menyebar dan membentuk aksi-aksi yang mengarah kepada upaya pembangkangan militer. Contoh yang paling nyata adalah Peristiwa Januari 1933. Itu adalah peristiwa demonstrasi beruntun sebulan penuh yang berpuncak pada pemogokan massal yang melibatkan 308 marinir berkebangsaan pribumi dan indo serta 40 marinir berkebangsaan Belanda di hampir semua kapal perang milik KM.
Aksi ini kemudian melebar ke beberapa basis marinir lainnya di Surabaya seperti tangsi KM di Ujung dan kapal-kapal selam yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tandjung Perak. Para awak KM yang bertugas di Pangkalan Pesawat Terbang Moro Kembangan pun tak mau kalah menjalankan aksi menolak untuk bekerja. Akibatnya untuk beberapa waktu kekuatan Angkatan Laut Kerajaan Belanda lumpuh. Sebuah situasi yang akan sangat fatal jika saat itu ada kekuatan musuh menyerang Hindia Belanda
Demi menghadapi aksi pembangkangan itu,seminggu kemudian Pemerintah Hindia Belanda melancarkan tindakan keras. Mereka mengirim satu batalyon (kurang lebih 700 sedadu) KNIL dari Malang dengan persenjataan lengkap seperti mitraliyur berat. Pada akhirnya, aksi damai para marinir itu dapat dibubarkan dengan cara kekerasan. Ratusan pembangkang dan pemogok pun dijebloskan ke Penjara Sukolilo di Madura.
**
PELABUHAN SABANG, 27 Januari 1933.Belasan kelasi pribumi tengah membersihkan lantai Kapal Tujuh yang sedang menurunkan jangkar di sana. Beberapa diantaranya, ngobrol dalam suara berbisik. Ketegangan meliputi wajah-wajah sawo matang tersebut. Pasalnya adalah keterangan dari seorang Kopral berkebangsaan Belanda yang mendapat informas A1 (sangat valid) dari radio bahwa hari-hari itu tengah terjadi pemogokan besar-besaran memprotes penurunan gaji yang dilakukan oleh kawan-kawan mereka di Surabaya.
Kopral Maud Boshart—nama salah satu marinir Belanda totok yang pro pemogokan—kelak memberi kesaksian bahwa berita tersebut menjadi percikan awal dari api pemberontakan yang beberapa hari kemudian akan berkobar di Kapal Tujuh. “Kami semua resah, karena secara politis kami sangat mendukung aksi-aksi yang dilakukan oleh para marinir di Surabaya itu,”tulis Boshart dalam Muiterij in de Tropen(Pemberontakan di Daerah Panas).
Kasak-kusuk para marinir tersebut pada akhirnya mengerucut kepada rencana pemufakatan gelap untuk membahas soal itu besok harinya. Tempatnya mereka tentukan di sebuah gedung bioskop yang terletak di pusat kota Sabang. Dengan alasan untuk merayakan Hari Idul Fitri, permohonan izin pun kemudian diajukan ke Komandan Kapal yang bernama Eikenboom, seorang Belanda yang memiliki pangkat paling tinggi di Kapal Tujuh yakni Letnan Kolonel Laut.
Awalnya para perwira Belanda tidak menaruh syakwasangka dengan pengajuan izin para kelasi pribumi untuk turun ke darat itu. Kecurigaan mulai muncul saat mereka mengetahui ada 30 marinir bangsa Belanda pimpinan Maud Boshart dan Hendrik yang ikut turun juga ke darat. Pikir mereka, apa perdulinya orang-orang Belanda yang Kristen itu ikut-ikutan merayakan Hari Lebaran?
Tak mau ambil resiko, Eikenboom pun lantas berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Dan jadilah pertemuan yang tadinya akan bersifat rahasia itu itu diawasi oleh polisi. Namun dalam situasi kritis itu, tiba-tiba terjadi kebakaran besar di pusat kota. Saya menduga, peristiwa itu bukan suatu kebetulan.Bisa jadi itu sesungguhnya merupakan bagian skenario yang sudah dibuat para marinir itu untuk menghindari pengawasan polisi lokal.
Namun terlepas dari benarnya tidaknya dugaan itu, yang jelas saat terjadi kepanikan tersebut, semua polisi yang menjaga pertemuan para marinir itu seolah lupa dengan tugas utama mereka. Alih-alih tetap siaga di tempat, mereka dengan tergopoh-gopoh malah berlarian kearah pusat api. Begitu lepas dari pengawasan polisi, rapat kilat pun dilakukan. Pidato-pidato keras menolak penurunan gaji serta dukungan terhadap aksi Surabaya dengan lantang disuarakan.
Rombongan para polisi pengawas baru datang setelah acara rapat akan berakhir. Kendati luput mendengar pidato-pidato revolusiener dari para marinir, mereka sempat juga mendengar “para lelaki laut” itu mengumandangkan hymne perjuangan kaum buruh dunia yakni Internationale.
“Werkers, waar g’ ook zwoegt en lijdt Zijn wij niet van enen bloede? Striemt ons niet dezelfde roede? Een in’t juk, dat w’ allen dragen Een de strijd, die heft te wagen‘t
Ganse proletariat” (Buruh, dimana saja kau membanting tulang dan menderita Tidakkah kita ini berasal dari satu darah? Tidakkah cambuk yang sama menghantam kita?
Satu dalam beban yang kita sekalian pikul Satu saja perjuangan yang berani menempuh Segenap kekuasaan proletariat”.)
Berita pengumandangan lagu Internationale tersebut, tak pelak membuat khawatir para perwira Belanda di Kapal Tujuh. Terlebih dari hari ke hari, mereka mendengar dari radio, aksi pemogokan para marinir Surabaya alih-alih berhenti malah semakin menggila. Karena itu adalah wajar jika kemudian mereka mulai menghubung-hubungkan dan timbul curiga pengaruh “Revolusi Surabaya” telah menyelusup sampai ke tubuh Kapal Tujuh.
Sebagai upaya mengantisipasi terjadinya pergolakan di Kapal Tujuh, pada 31 Januari 1933, Eikenboom mengumpulkan semua awak kapal. Di hadapan 460 para marinir Kapal Tujuh, ia mengatakan: “Berita yang saya terima mengatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pemogokan di kalangan marinir di Surabaya. Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji. Saya sangat menyesal bilamana kalian berbuat sesuatu yang tidak baik, karena di kapal ini sayalah yang bertanggung jawab. Jadi saya harap semua ABK Tujuh jangan sampai ikut dalam aksi pemogokan seperti yang terjadi di Surabaya itu!”
Bagi para sebagian besar awak Kapal Tujuh, pidato Eikenboom justru seperti membongkar api dalam sekam. Alih-alih membuat mereka menjadi lebih tenang, keinginan berontak justru semakin berkobar. Setelah melakukan serangkaian pertemuan diam-diam, para pimpinan awak kapal pribumi seperti Sukantaparadja, Rumambi, Gosal dan beberapa kawan-kawan mereka yang berkebangsaan Belanda namun pro terhadap perjuangan menuntut kenaikan gaji, sepakat untuk menjalankan sebuah pemberontakan.
Rencananya mereka akan mengambil alih kekuasaan atas Kapal Tujuh. Setelah itu, para pemberontak akan mengarahkan kapal kembali menuju Surabaya.Tujuannya, selain untuk membebaskan kawan-kawan mereka yang ditahan di Sukolilo, juga untuk menarik perhatian internasional terhadap upaya perjuangan mereka.
“Selama ini, saya sering mendengar para perwira kami mengejek bahwa kelasi-kelasi inlander tak lebih hanya penggosok tembaga saja. Mereka bilang, sebenarnya kalian sangat tidak pantas ada di sebuah kapal perang milik Kerajaan. Saya pikir, inilah waktunya untuk kawan-kawan membuktikan bahwa kaum pribumi pun dapat juga memimpin kapal perang dan menyumpal omong kosong mereka yang selalu menghina kita!” seru Boshart dalam sebuah pidato terakhir untuk merencanakan pemberontakan tersebut.
Sebagai komandan pemberontakan, para awak kapal memilih Kawilarang. Ia dibantu oleh Rumambi, Gosal, Paradja, Tumuhena, Suwarso, Hendrik dan Boshart. Mereka percaya bahwa sebuah pemberontakan lintas kebangsaan akan berlangsung di sebuah kapal perang kolonial!
***
ISU PEMBERONTAKAN di Kapal Tujuh bukannya tidak diketahui oleh para perwira kapal perang tersebut. Namun rupanya, sikap merendahkan potensi inlander lebih dominan bersingasana di benak mereka. “Babi-babi itu hendak melarikan sebuah kapal yang begitu besar? Itu tidak masuk akal, sedangkan sebelah kanan kapal saja mereka tidak dapat membedakan dari sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar !”ujar Eikenboom saat dilapori anak buahnya kelak saat para marinir sedang menyiapkan pemberontakan di kapalnya.
Tidak ada upaya antisipasi terhadap isu pemberontakan itu. Alih-alih begerak cepat menangkap para marinir yang dianggap sebagai pentolan pemberontakan, para elite pimpinan Kapal Tujuh malah membuat situasi blunder. Bentuknya, mereka memilih untuk pergi ke pesta dansa di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh.
“Pesta yang menghadirkan noni-noni Belanda itu, konon menelan biaya sampai 500 gulden,” tulis M. Sapiya dalam Pemberontakan Kapal Tujuh.
Untuk “mendinginkan” para marinir bumiputera, pada 4 Februari siang, Eikenboom malah menyelenggarakan pertandingan sepakbola antara anak buah kapal Tujuh dengan pihak tentara Angkatan Darat (KNIL) pada 4 Februari. Pertandingan persahabatan itu berakhir dengan kekalahan para marinir KM dalam skor 2-4.
Usai magrib, suasana tenang masih meliputi Kapal Tujuh. Para anak buah kapal terlihat santai. Di geladak, beberapa di antara mereka, masih terlibat perbincangan sekitar pertandingan sepakbola tadi siang. Sementara itu, rangkaian bunga sebagai tanda penghormatan dari pihak KNIL masih segar tergantung di dekat tangga kapal. Belakangan Boshart mengakui rangkaian bungai itu sengaja digantungkan oleh dirinya, sebagai taktik untuk mengelabui suasana tegang sebagian besar awak Kapal Tujuh yang tengah bersiap menjalankan pemberontakan.
“Rupanya pra kondisi yang kami lakukan berhasil, sekitar jam 8 malam Eikenboom, Meijer dan para perwira tanpa curiga memutuskan turun ke daratan untuk menghadiri pesta dansa di Aceh Club,”tulis Boshart.
Begitu iring-iringan para perwira tersebut hilang dari pandangan dan situasi dinilai kondusif, secara cepat Kawilarang mengatur tugas para kelasi bumiputera untuk menduduki pos-pos yang telah ditetapkan. Wahab, Saleh, Katenghado dan Manuputty memegang kemudi kapal, beberapa orang lainya mengurus mesin pengangkat jangkar, menyiapkan peta-peta untuk pelayaran menyusuri pantai Sumatera.
“Sementara para marinir bumiputera dipimpin langsung oleh Kawilarang, maka para marinir Belanda dan Indo dipimpin oleh saya dan Dooyeweerd,”ujar Boshart
Setengah jam setelah kepergian para perwira tersebut, Kawilarang memerintahkan ABK Subari (yang bekerja dalam ruangan makan para perwira) untuk memeriksa semua pistol yang ada diruangan perwira. Ia pun memerintahkan ABK Hardjosuria (yang bekerja di dalam ruang makan bintara) untuk memeriksa tempat penyimpanan gewerrek (senjata kokang) dan gudang amunisi meriam 28 cm.
Para pemberontak pimpinan Boshart juga tak kalah cepat bergerak. Mereka masuk melalui schoorsteen (cerobong asap) kapal dalam gerak senyap dan turun ke bawah menuju kamar mesin dengan dibantu oleh kawan bumiputera yang bernama Ali Partodihardjo. Setiba di kamar mesin, mereka mulai memanaskan mesin sedemikian rupa sehingga orang tidak dapat menduga bahwa mereka sedang mengadakan persiapan untuk memberangkatkan kapal.
Di bagian lain, para kelasi bumiputera pimpinan Parinussa dan Suwarso mengawasi gerak para marinir Belanda yang dicurigai dan juga membantu menaikkan sekoci jika kapal berangkat.Semua tugas tersebut dilakukan sebelum pemberontakan dimulai. Salvo tanda dimulainya pemberontakan dilakukan dengan jalan meniup bootsmanfluitje (peluit serang) yang dilakukan oleh Kawilarang sendiri sebagai komandan tertinggi kapal.
Sekitar pukul 10 malam, para petugas piket berkebangsaan Belanda ribut. Saat memeriksa, pimpinan mereka yang bernama Letnan (Laut Kelas Dua) Van Boven mendapati peluru-peluru dalam lemari di atas geladak raib. Mereka lantas mencari Paradja yang menjadi penanggungjawab keberadaan peluru-peluru tersebut di Kapal Tujuh. Saat ditemui, Paradja ada dalam situasi yang tengah santai di geladak kapal dekat Meriam 28: bercelana jeans pendek dan berkaos oblong.
Demi menyaksikan pemandangan tersebut, Van Boven menegur keras Paradja sambil memerintahkan untuk segera berpakaian lengkap dan pergi menghadap atasannya di daratan. Mendapat teguran keras tersebut, Paradja naik pitam. Alih-alih, menemui atasanya untuk melapor, ia malah turun ke ruangan makan khusus untuk kelasi bumiputera, tempat para pemberontak bersenjata lengkap tengah bersiap.
“Hai, saudara-saudara sekalian, sekarang sudah tiba saatnya untuk berontak, marilah kita berontak, ayo, serbu sekarang !”teriaknya.
Kawilarang yang mendengar suara Paradja langsung meniup peluit serangnya sebagai tanda pemberontakan dimulai pada jam 10 malam itu. Begitu peluit berbunyi, seluruh lampu kapal tiba-tiba padam diiringi aksi penyerangan mendadak dibawah pimpinan Paradja, Gosal, Sudiana, Mitje J, Parinussa dan Suahardjo serta para ABK bangsa Belanda dan Indo pimpinan Boshart dan Dooyeweerd. Lima belas pemberontak lainnya langsung menguasai dan bekerja di kamar mesin.
”Seluruh pasukan lawan dapat kami lumpuhkan dan semua ruangan dalam kapal akhirnya kami bisa kuasai, kecuali ruang radio,”kisah Boshart.
Untuk menguasai ruangan radio tersebut, Kawilarang memerintahkan pasukan Boshart untuk menanganinya. Begitu pasukan pemberontak sampai di ruangan radio, terlihat perwira Belanda bernama Baron Devos Van Steenwijk tengah menghardik seorang kelasi Belanda untuk segera menyiarkan terjadinya pemberontakan di Kapal Tujuh.
Boshart balik membentak Baron Devos. Dengan mengacungkan pistolnya, marinir yang merupakan aktivis serikat buruh sosialis itu berteriak “Ga Weg, jij, of ik schiet (pergi dari situ atau kau aku tembak)!”Demi melihat ramainya para marinir sebangsanya datang bersenjata lengkap dan memandangnya dengan mata penuh ancaman, perwira radio itu pun memutuskan untuk menyerah.
Dua perwira berkebangsaan Belanda: Vels dan Bolhouwer -yang pada malam itu ditugaskan untuk mengawasi kapal selama Eikenboom dan perwira lainnya turun ke daratan- berhasil lolos. Saat proses penguasaan Kapal Tujuh dilakukan, mereka diam-diam meloloskan diri lewat patrijspoort (jendela kapal) dan berenang menuju daratan. Seorang kelasi bumiputera coba membidik mereka.Namun sayang, tembakannya luput. Bisa jadi mereka berdua radiusnya sudah terlalu jauh.
Beberapa perwira Belanda lainnya juga ada yang berhasil lolos. Sebelum meloloskan diri, mereka sempat mengunci kemudi kapal, hingga tak bisa digunakan oleh para pemberontak. Di tengah kesulitan karena kemudi terkunci, Kawilarang dengan tangkas menggunakan dua buah mesin (stuurboord dan backboard) sebagai pengganti kemudi yang sudah lumpuh itu. Kendati Pelabuhan Oleh Le banyak dipenuhi oleh pulau-pulau kecil dan ranjau-ranjau karang, pelaut asal Sulawesi itu berhasil membawa kapalnya dengan selamat keluar dari pelabuhan tersebut.
Lepas dari Pelabuhan Oleh Le, Kapal Tujuh memutar haluannya menuju Surabaya. Atas perintah Kawilarang, kemudi yang terkunci dengan slot merek Lips, dibongkar paksa dengan mengggunakan sebuah palu besi seberat 8 kg. Dengan demikian kemudi Kapal Tujuh itu dapat berfungsi kembali.
***
SEHARI USAI MENINGGALKAN Pelabuhan Oleh Le, secara resmi pimpinan pemberontakan mengeluarkan suatu pernyataan pers dalam bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia. Pernyataan yang dibacakan oleh Rumambi berbunyi sebagai berikut:
“Kapal perang ini kami ambil alih.Zeven Provincien pada waktu ini ada dibawah kekuasaan kami, anak buah kapal Zeven Provincien berbangsa Indonesia, dengan bermaksud menuju Surabaya. Sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali kepada komandan semula. Maksud kami melakukan aksi ini adalah untuk memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan ! Keadaan dalam kapal aman tidak ada paksaan dan tidak ada orang yang terluka”
Pemerintah Hindia Belanda tentu saja tidak tinggal diam terhadap aksi pemberontakan tersebut. Lewat KM, mereka lantas memerintahkan kapal perang Aldebaren untuk memburu Kapal Tujuh. Letnan Kolonel Laut Eikenboom yang merasa terhina dengan aksi anak buahnya itu, turut serta dalam pengejaran itu.
Kendati berhasil menyusul Kapal Tujuh, namun Kawilarang dan para marinir pemberontak tidak memberi kesempatan sedikitpun Aldebaran untuk mendekat. Mereka mengirimkan isyarat jika kapal perang itu mendekat maka akan langsung ditembak. Aldebaran pun gentar dan menghentikan pengejarannya.
Habis Aldebaran muncul Goudenleeuw. Kapal perang penyebar ranjau itu dalam kenyataannya tak memiliki nyali untuk mendekat. Mereka hanya bisa mengikuti kapal Tujuh dalam radius yang sangat jauh. Kenapa dua kapal perang terkemuka milik KM itu sebegitu ciut nyalinya? Rupanya diantara ketiga kapal itu, Kapal Tujuh-lah yang memiliki kelengkapan paling canggih (saat itu) termasuk tersedianya meriam yang paling besar dan persenjataan yang paling kuat.
Pada 5 Februari, Kapal Tujuh sudah memasuki wilayah Pulau Berueh. Besoknya, mereka merambah Pulau Simeuleu, Pulau Nias, Tapaktuan, Pulau Sinabang. Tepat jam 9 pagi, pada 10 Febuari 1933, Kapal Tujuh berada di perairan Selat Sunda. Di laut sempit pembatas Sumatera dan Jawa itulah, Kapal Tujuh dikepung oleh 3 kapal perang (Goudenleeuw, Sumatera dan Java), dua kapal pemburu torpedo (Piet Hien dan Evetsen) dan dua skwardon Dornier (pesawat pemburu yang dilengkapi bom seberat 50 kg).
Sebelumnya, semua anak buah kapal bumiputera di kapal perang Java, Sumatera, Piet Hein dan Evertsen yang dicurigai, telah di turunkan di Pelabuhan Surabaya dan senjata mereka telah dilucuti. Itu dilakukan sebagai bentuk tindakan antisipasitif pihak militer Hindia Belanda. Dikhawatirkan jika melibatkan pelaut bumiputera dalam pengejaran mereka akan menolak untuk menembak kawan sebangsanya.
Kapal perang Java yang dipimpin oleh Van Dulm memberikan ultimatum agar Kapal Tujuh segera menyerah. Alih-alih takut terhadap ultimatum tersebut, Kapal Tujuh malah mengarahkan moncongn Meriam 28 ke arah kapal perang Java. Van Dulm mengancam lagi akan menyapu bersih Kapal Tujuh dari permukaan laut jika tidak mau menyerah. Tetapi lagi-lagi Kawilarang, Rumambi, Paradja, Boshart dan para marinir pemberontak lainnya, enggan menyerah: “Kami tidak mau diganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya”jawab Kawilarang.
Begitu ultimatum ditolak, terdengar dengungan mesin pesawat terbang Dornier D 11 di atas Kapal Tujuh. Mereka mengirim pesan agar Kapal Tujuh menyerah saja. Tetapi rupanya urat takut Kawilarang dan kawan-kawannya sudah putus. Mereka bertekad tidak mau menyerah dan tetap akan melanjutkan perjalanan sampai Surabaya.
Sepuluh menit berlalu tanpa jawaban. Deru pesawat Dornier terdengar seperti ribuan tawon yang ingin menerkam mangsanya. Rupanya mereka tengah menyiapkan formasi untuk menyerang. Pesawat Dornier pertama mulai menukik dan membuang bom seberat 50 kg itu. Bom pertama hanya mengenai lautan biru Selat Sunda dan luput mengenai sasaran.
Pesawat Dornier kedua seperti marah. Ia menukik, bermanuver dan bergerak cepat menghunjam ke arah geladak Kapal Tujuh. Serentetan tembakan senapan otomatis menyambut serangan si burung besi tersebut. Luput. Sebaliknya bom kedua yang dijatuhkan tepat mengenai geladak kapal. Bunyi dasyat mengerikan pun terdengar diiringi jeritan para marinir pemberontak yang tengah bertahan di Kapal Tujuh.
J Pelupessy yang tengah bertahan dengan senapan otomatisnya mendapat luka-luka cukup parah. Namun ia sempat melihat rekannya, Sagino yang kehilangan sebelah mata mendekati dirinya sambil berkata lirih namun tegas, “Pessy tolong aku, inilah nafasku yang penghabisan, aku yakin Kerajaan Belanda tidak lama lagi akan tamat riwayatnya. Dan bagi kita, tempat ini bukan Selat Sunda tapi Selat Kapal Tujuh!”
Sagino kemudian melepaskan nyawanya. Disusul oleh marinir lainnya: Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, Simon dan sang komandan: Paradja.
Kondisi Kapal Tujuh sendiri benar-benar lumpuh. Saat para marinir itu bahu membahu membentuk pertahanan, sebuah bom meluncur lagi dari udara, menimbulkan desis mengerikan dan waktu itu pula langsung memusnahkan sejumlah besar manusia yang berdiri menonton pesawat-pesawat terbang. Begitu bom jatuh, Boshart ingat dirinya terpelanting diatas geladak dan secara refleks ia berdiri lagi untuk mencari perlindungan.
Ia kemudian lari menuju bagian depan. Dan menyaksikan kawan-kawannya seperjuangan tergeletak di atas geladak dengan tubuh yang sudah terbagi-bagi menjadi potongan-potongan kecil. Ada yang terbakar, ada yang berguling-guling dan mandi dalam darahnya dengan luka-luka yang sangat mengerikan. Boshart menyaksikan pula seorang karibnya terluka membentuk lubang sebesar kepalan tangan manusia dewasa di dadanya. “Saya menangis, saya tidak dapat menahan air mata saya ketika menyaksikan pemandangan seperti itu,”kenangnya.
****
KAPAL TUJUH akhirnya takluk. Para pemberontak berbangsa Indonesia lantas diangkut dengan kapal perang Java sedangkan yang berbangsa Belanda diangkut dengan kapal Orion. Kapal pemburu Eversten mengangkut para marinir yang gugur dan kemudian memakamkan mereka dalam satu lobang di Pulau Kerkhof (Pulau Kelor), sedangkan rekan-rekannya yang berbangsa Belanda di Pulau Purmerend (Pulau Bidadari). Dua pulau yang termasuk dalam gugusan Kepulauan Seribu.
Para pemberontak yang masih hidup diborgol dengan rantai dan dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Pulau Onrust. Itu nama sebuah pulau karang bekas galangan kapal-kapal VOC yang terletak di sebelah utara Batavia. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah barak yang dikepung oleh sebuah tembok setinggi orang dengan atap terbuat dari seng. Diantara atap dan tembok terdapat ruang kosong setengah meter yang ditutup dengan kawat berduri.
Peraturan di barak tersebut sangat ketat. Setiap lima tawanan diborgol secara berantai. Jadi jika ada salah seorang tawanan yang ingin mandi atau buang hajat misalnya, otomatis keempat tawanan lain yang terhubung dengan rantai harus ikut pula. Di Onrust juga diterapkan peraturan: ” Siapa yang melalui ruang terbuka akan ditembak tanpa peringatan. Jikalau membuat ribut, maka granat tangan akan dilemparkan tanpa peringatan kedalam barak. Tindakan ini diambil juga terhadap kelasi-kelasi yang berani tertawa atau berbicara dengan suara keras,”ungkap Boshart.
Para tawanan yang tidak mau menandatangani pernyataan bersalah dihukum dengan tidak diberi makan selama 3 hari. Para tawanan yang diperiksa tidak boleh berpindah dari pusat atau melewati batas lingkungan yang diberi tanda garis dilantai dengan kapur. Mereka juga harus berdiri dari pagi sampai sore dengan tangan terborgol sambil dicaci maki oleh para serdadu bersenjata lengkap.
Tujuh bulan lamanya mereka menjadi penghuni “neraka” Onrust. Hingga pada 19 September 1933, mereka dipindahkan ke Penjara Sukolilo kecuali Kawilarang dan Boshart (karena dianggap pentolan pemberontak paling berbahaya). Mereka berdua ditahan di Batavia.
Dalam catatan Departemen van Marine (Departemen Kelautan Kerajaan Belanda), ada sekitar 545 marinir bumiputera dan 81 marinir bangsa Belanda dan Indo yang ditahan terkait pemberontakan di Kapal Tujuh. Itu sudah termasuk 182 awak Kapal Tujuh yang dipenjara di kamp konsentrasi Onrust.
Atas terjadinya Insiden Kapal Tujuh itu, Gubernur Jenderal De Jonge sendiri mendapat kecaman keras dari media-media Eropa dan Amerika Serikat. Ia dinilai tidak becus memimpin sebuah koloni terutama soal mengurus disiplin dan kesehjateraan tentaranya di Hindia Belanda. Sementara itu di tanah air, serangan bertubi-tubi pun dilontarkan oleh para jurnalis anti kolonial seperti Raden Tahir Tjindarboemi dari Harian Soeara Oemoem. Imbasnya, harian milik Dr.Soetomo itu diberedel dan Raden Tahir Tjindarboemi dipenjara.
Lalu menyesalkah para marinir yang melakukan pemberontakan di Kapal Tujuh tersebut? “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda,”ujar Kawilarang, saat pengadilan Mahkamah Militer Hindia Belanda menjatuhkan hukuman 17 tahun penjara baginya. Kebanggan itu pula yang puluhan tahun kemudian masih dimiliki oleh Agih Subakti,seorang putera dari salah satu rekan seperjuangannya.
De Zeven Provincien dilihat dari atas
Pasca pemboman
Berita Kapal Tujuh dalam sebuah media Belanda
Maud Boshart, pimpinan pemberontak yang Belanda totok saat ditahan di Batavia
Sebagian awak Kapal Tujuh menjelang pengadilan militer
R.Saleh Basari Wangsadiredja (kiri), kelasi asal Sukabumi yang terlibat Pemberontakan Kapal Tujuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar